1. Wasiat
A. Pengertian Wasiat
Istilah “wasiat” diambil dari washaitu-ushi
asy-syai’a (aku menyambung sesuatu).
Dalam syari’at, wasiat adalah
penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan
ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah
kematian orang yang berwasiat.[1]
Menurut asal hukum, wasiat adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya,
tak ada dalam syari’at islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan
putusan hakim.[2]
Inilah pendapat jumhur fuqoha.
B. Hukum Wasiat
Menurut pendapat
yang berasal dari empat Imam dan para ulama zaidiyah, hukum wasiat dapat
berubah-ubah seiring dengan perubahan kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib,
sunnah, haram, makruh, dan kadang mubah.
-
Wasiat
hukumnya wajib, jika seseorang menanggung kewajiban syar’i yang dia khawatirkan
akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkannya, seperti zakat.
-
Wasiat
hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah , atau diberikan kepada
karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin yang shaleh diantara manusia.
-
Wasiat
hukumnya haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.
-
Wasiat
hukumnya makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit, sedangkan dia
memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli waris yang membutuhkannya.
-
Wasiat
hukumnya mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga
–tetangga yang penghidupan mereka sudah tidak kekurangan.[3]
C.
Rukun Wasiat
1. Orang yang berwasiat, dengan
syarat :
Ø Berakal sehat
Ø Baligh
Ø Atas kehendak sendiri
Ø Harta yang sah/miliknya
2.
Orang yang menerima wasiat (Mushalahu), dengan syarat :
Ø Jelas identitasnya
Ø Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
Ø Bukan bertujuan untuk maksiat
Ø Bukan pewaris, kecuali diizini keluarga
3.
Sesuatu yang diwasiatkan (Mushabihi), dengan syarat :
Ø Milik pemberi wasiat
Ø Sudah berwujud
Ø Dapat dimiliki/pemberi manfaat
Ø Tidak melebihi 1/3
D. Lafadz Wasiat
disyaratkan dengan
kalimat yang dapat memberi pengertian wasiat, dan disaksikan oleh saksi yang
adil atau pejabat (notaris).
E.
Batas Pemberian dan Pelaksanaan Wasiat
Dalam pemberian wasiat,
diperbolehkan mewasiatkan 1/3 harta, tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Dan
sebaiknya kurang dari 1/3. Ketentuan tersebut telah disepakati para ulama.
Orang yang berwasiat boleh jadi
memiliki ahli waris dan boleh jadi tidak. Jika orang yang berwasiat tidak
memiliki ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Ini lah
yang menjadi pendapat jumhur ulama.[4]
Adapun batasan dalam pelaksanaan
wasiat, maka apabila wasiat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya
hendaklah wasiat tersebut dilaksanankan sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si
penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat
memanfaatkan dan mentransaksikannya menurut kehendaknya.
F.
Pembatal Wasiat
yang membatalkan adanya pelaksanaan
wasiat adalah :
1.
Mushi menarik
wasiatnya
2.
Mushalahu
menolak wasiat
3.
Mushalahu
membunuh washi
4.
Mushalahu
meninggal sebelum mushi meninggal
5.
Mushabihi
binasa atau mengalami perubahan bentuk
6.
Mushabihi
diputuskan hakim sebagai milik orang lain
7.
Habis
waktu wasiatnya, jika ada batasannya.
2. Wasiat
Wajibah
A. Pengertian
dan Pendapat Ulama Tentang Keberadaan Wasiat Wajibah
Yang
dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi
atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.
Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapakan atau tidak diucapkan baik
dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.. Jadi,
pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut
diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan
kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus
dilaksanakan.[5]
Ketentuan wasiat
wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan QS:
Al-Baqarah :180
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَ كُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَ صِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْن.
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang yang bertaqwa (Q.S.
al-Baqarah: 180)
Sebagian ulama,
dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat
(kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun
kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat
wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian
(penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan. Sedang sebagian lain
berpendapat karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah di
nasakh, baik oleh Al-Qur’an maupun al-Hadits.
B. Syarat-Syarat Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah ini
harus memenuhi dua syarat :
Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima
pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua : orang yang
meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib
dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah
umpamanya.
C. Orang-Orang Yang Berhak Menerima Wasiat Wajibah
Orang-orang yang
berhak menerima wasiat wajibah ialah walidain dan aqrabin yang
tidak termasuk ahli waris. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh para
ulama, antara lain sebagai berikut :
Sesungguhnya ayat tersebut telah dinasakh bagi orang yang menjadi
ahli waris /menerima warisan, dan tetap hukumnya bagi orang yang tidak menjadi
ahli waris. (Ibnu Katsir,
1966 :372)
Maka barang siapa menjadi ahli waris karena ditunjuk oleh ayat
mawaris, baginya tidak ada wasiat. dan
bagi yang tidak menerima warisan, tetaplah hukum yang ditetapkan dengan nash
tersebut (Sayyid Quthb, 1967 :237)
Dan bagi mereka ada yang membatasi nasakh itu hanya bagi mereka
yang termasuk ahli waris atau penerima warisan, dan kewajibannya tetap ada bagi
yang tidak menjadi ahli waris (Suparman
Usman, 1988: 140)
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa orang-orang yang
berhak menerima wasiat wajibah adalah walidain dan aqrabin yang
tidak mendapatkan / menerima warisan saja. Sedangkan mereka yang mendapatkan
bagian harta peninggalan tidak berhak menerima wasiat tersebut.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.
jilid 4, h. 523
[2] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 2001. h. 273
[3] Asyhari Abta,
Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikamah
Perdana, 2005, h.227
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah,…………….h.
[5] Suparman Usman,
Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002,
h.163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Syukron...Dah Baca...Add Your Comment Yaah...!!!!