!!!.....اَهْلاً وَ سَهْلاً

"Dan Janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu beriman. (Ali-'Imran:139)



Jumat, 25 Mei 2012

Wasiat Wajibah


1. Wasiat
A. Pengertian Wasiat
               Istilah “wasiat” diambil dari washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung sesuatu).
           Dalam syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.[1]
           Menurut asal hukum, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya, tak ada dalam syari’at islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.[2]
           Inilah pendapat jumhur fuqoha.
B. Hukum Wasiat
           Menurut pendapat yang berasal dari empat Imam dan para ulama zaidiyah, hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makruh, dan kadang mubah.
-          Wasiat hukumnya wajib, jika seseorang menanggung kewajiban syar’i yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkannya, seperti zakat.
-          Wasiat hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah , atau diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin yang shaleh diantara manusia.
-          Wasiat hukumnya haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.
-          Wasiat hukumnya makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit, sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli waris yang membutuhkannya.
-          Wasiat hukumnya mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga –tetangga yang penghidupan mereka sudah tidak kekurangan.[3]
C. Rukun Wasiat
           1. Orang yang berwasiat, dengan syarat :
Ø  Berakal sehat
Ø  Baligh
Ø  Atas kehendak sendiri
Ø  Harta yang sah/miliknya
2. Orang yang menerima wasiat (Mushalahu), dengan syarat :
Ø  Jelas identitasnya
Ø  Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
Ø  Bukan bertujuan untuk maksiat
Ø  Bukan pewaris, kecuali diizini keluarga
3. Sesuatu yang diwasiatkan (Mushabihi), dengan syarat :
Ø  Milik pemberi wasiat
Ø  Sudah berwujud
Ø  Dapat dimiliki/pemberi manfaat
Ø  Tidak melebihi 1/3

D. Lafadz Wasiat
        disyaratkan dengan kalimat yang dapat memberi pengertian wasiat, dan disaksikan oleh saksi yang adil atau pejabat (notaris).
E. Batas Pemberian dan Pelaksanaan Wasiat
            Dalam pemberian wasiat, diperbolehkan mewasiatkan 1/3 harta, tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Dan sebaiknya kurang dari 1/3. Ketentuan tersebut telah disepakati para ulama.
            Orang yang berwasiat boleh jadi memiliki ahli waris dan boleh jadi tidak. Jika orang yang berwasiat tidak memiliki ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Ini lah yang menjadi pendapat jumhur ulama.[4]
            Adapun batasan dalam pelaksanaan wasiat, maka apabila wasiat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut dilaksanankan sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan mentransaksikannya menurut kehendaknya.
F. Pembatal Wasiat
            yang membatalkan adanya pelaksanaan wasiat adalah :
1.      Mushi menarik wasiatnya
2.      Mushalahu menolak wasiat
3.      Mushalahu membunuh washi
4.      Mushalahu meninggal sebelum mushi meninggal
5.      Mushabihi binasa atau mengalami perubahan bentuk
6.      Mushabihi diputuskan hakim sebagai milik orang lain
7.      Habis waktu wasiatnya, jika ada batasannya.


2. Wasiat Wajibah
A. Pengertian dan Pendapat Ulama Tentang Keberadaan Wasiat Wajibah
          Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapakan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.[5]
            Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan QS: Al-Baqarah :180


كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَ كُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَ صِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْن.
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya  secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang yang bertaqwa (Q.S. al-Baqarah: 180)
            Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan. Sedang sebagian lain berpendapat karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah di nasakh, baik oleh Al-Qur’an maupun al-Hadits.
B. Syarat-Syarat Wasiat Wajibah
            Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua : orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
C. Orang-Orang Yang Berhak Menerima Wasiat Wajibah
            Orang-orang yang berhak menerima wasiat wajibah ialah walidain dan aqrabin yang tidak termasuk ahli waris. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :
Sesungguhnya ayat tersebut telah dinasakh bagi orang yang menjadi ahli waris /menerima warisan, dan tetap hukumnya bagi orang yang tidak menjadi ahli waris. (Ibnu Katsir, 1966 :372)
Maka barang siapa menjadi ahli waris karena ditunjuk oleh ayat mawaris, baginya tidak ada wasiat. dan bagi yang tidak menerima warisan, tetaplah hukum yang ditetapkan dengan nash tersebut (Sayyid Quthb, 1967 :237)
Dan bagi mereka ada yang membatasi nasakh itu hanya bagi mereka yang termasuk ahli waris atau penerima warisan, dan kewajibannya tetap ada bagi yang tidak menjadi ahli waris (Suparman Usman, 1988: 140)
            Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa orang-orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah walidain dan aqrabin yang tidak mendapatkan / menerima warisan saja. Sedangkan mereka yang mendapatkan bagian harta peninggalan tidak berhak menerima wasiat tersebut.     
  


[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.  jilid 4, h. 523
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. h. 273
[3] Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikamah Perdana, 2005, h.227
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,…………….h.

[5] Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, h.163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron...Dah Baca...Add Your Comment Yaah...!!!!